KABUPATEN BERAU



BERAU, kabupaten di Kalimantan Timur yang terkenal karena keberadaan Pulau Derawan dan konservasi penyu, merupakan salah satu daerah di Kalimantan Timur yang memiliki riwayat sejarah yang panjang. Kedatangan pemerintah kolonial, yang merombak tatanan lama di Berau, sedikit banyak ikut mewarnai wajah Berau.

Kawasan yang sekarang menjadi wilayah Kabupaten Berau dulunya merupakan bekas wilayah Kerajaan Berau yang disebut-sebut sudah muncul sejak abad-13. Sebelumnya, masyarakat di Berau tergabung dalam ikatan sosial bernama "Banua". Masing-masing Banua dipimpin seorang Kepala Adat yang menjadi pemimpin pemerintahan sekaligus juga adat istiadat dan religi.

Sejumlah Banua lantas bersepakat untuk bersatu di bawah satu kepemimpinan terpusat. Dari konsensus para pemimpin Banua itulah lahir Kerajaan Berau. Pusat pemerintahan Kerajaan Berau berada di tepi Sungai Latu, sekarang kira-kira berada di Kecamata Gunung Tabur.

Raja pertama Kerajaan Berau bernama asli Baddit Dipattung yang lebih terkenal dengan sebutan gelar Aji Raden Surya Nata Kesuma. Pada masa pemerintahannya, ia mampu memerluas wilayah kerajaan menyusul keberhasilannya membujuk beberapa Banua lain yang sebelumnya tak terlibat dalam konsensus pendirian Kerajaan Berau. Nama raja pertama Berau ini lantas diabadikan sebagai nama Korem 081 yang berkedudukan di Samarinda.

Konsensus para pemimpin Banua itu mampu bertahan selama kurang lebih delapan abad. Konsensus pendirian Kerajaan Berau akhirnya porak poranda menyusul penetrasi pemerintahhan kolonial Hindia Belanda. Kerajaan Berau secara resmi dipecah ke dalam dua bagian menjadi Kerajaan Gunung Tabur dan Kerajaan Sambaliung pada 1810. Pada periode yang hampir bersamaan, agama Islam mulai masuk ke Berau menyusul kedatangan seorang ulama bernama Imam Sambuayan yang menetap di sekitar Sukan (Desa Sukan).

Salah satu pecahan Kerajaan Berau, yaitu Kerajaan Sambaliung, sedikit lebih menonjol dari Kerajaan Gunung Tabur, terutama karena berani mengambil inisiatif menggelar perlawanan terbuka kepada pemerintahan kolonial Hindia Belanda. Inisiatif itu muncul dari raja pertama Sambaliung yang bernama Raja Alam yang bergelar Sultan Alimuddin.

Perlawanan ini dipicu oleh dakwaan pemerintah kolonial terhadap Raja Alam yang dianggap bersekongkol dengan para pelaut Bugis dan Sulu untuk mengacaukan jalur pelayaran di Selat Makasar. Perlawanan Raja Alam dimulai pada 1934 dan berakhir pada tahun yang sama. Raja Alam lantas diasingkan Belanda ke Makasar.

Selama pengasingan, tahta Sambaliung yang berada di Batu Putih diserahkan pada Sultan Gunung Tabur. Dua tahun kemudian, atas inisiatif Sultan Gunung Tabur, Raja Alam dipulangkan dan kembali memerintah di Sambaliung. Seperti nama leluhurnya yang mendirikan Kerajaan Berau, nama Raja Alam lantas diabadikan sebagai nama Batalion 613 yang berkedudukan di Kotamadya Tarakan.

Memasuki abad 20, Berau mulai menggeliat. Pemerintah kolonial mulai membangun Berau dengan mendirikan beberapa perkantoran dan pemukiman orang-orang Eropa. Pembangunan itu terutama terkait dengan eksplorasi batu bara yang dilakukan oleh Stenkollen Matschappy Parapattan (SMP).

Dari situlah Teluk Bayur di Berau mulai menjadi bandar yang ramai. Sekitar tahun 1930-an, kawasan Teluk Bayur sudah menjadi sebuah kawasan modern yang komplit. Selain terdapat perkantoran dan pemukiman, Teluk Bayur juga dilengkapi dengan pelbagai fasilitas, dari mulai sarana transportasi kereta api, bioskop, kamar bola hingga rumah judi.

Pada masa sekitar itu pula Berau sudah dikenal sebagai kawasan penghasil telur penyu. Reputasi sebagai penghasil daging dan telur penyu itu sudah muncul jauh sebelum Belanda menancapkan pengaruhnya di Berau. Eksploitasi itu mulai berkurang setelah pemerintah kolonial melarang penangkapan penyu dewasa pada 1901. Kini, terutama di perairan Sanglakki, Berau menjadi salah satu pusat konservasi penyu di Indonesia.

sumber : Jurnal nasional

Comments