Kerajaan Gunung Tabur Anugerahkan Gelar Kehormatan

SEBAGAI DARI WILAYAH KABUPATEN BERAU, KERAJAAN GUNUNG TABUR MEMPUNYAI CERITA HISTORIS TERSENDIRI, BANYAK KENANGAN DAN PENINGGALAN BERSEJARAH YANG HINGGA KINI MASIH TERJAGA DENGAN BAIK KEBERADAANNYA, SALAH SATUNYA LEGENDA BADDIL KUNING YANG DIANGGAP SAKRAL OLEH MASYARAKAT SEKITAR.

bendera-kerajaan-gunung-tabur.jpg
Berdasarkan cerita turun temurun dan hingga kini masih menjadi legenda masyarakat Kabupaten Berau, bahwa benda yang terbuat dari logam kuningan berbentuk meriam kuno, yang konon katanya adalah benda jelmaan dari keturunan raja keraton Gunung Tabur.

Hal ini juga juga tidak menjadi keyakinan dan tidak diritualkan oleh masyarakat, hanya dilihat dari sisi historis dan sejarah leluhur asal muasal benda tersebut berasal.

Dalam pelestarian tersebutlah, kerabat keraton yang di pandu oleh Puteri Berau Aji Kanik Barrau Sanipa menggelar ritua yang di untuk mensucikan benda benda bersejarah itu, dikediaman putri rabu pagi 27 November 2007.

Prosesi yang diawali dengan penurunan "Baddil Kuning" dari dalam singgasananya hanya dilakukan oleh kerabat Keraton, sedangkan prosesi pensucian tidak diperkenankan untuk di dokumentasikan, hal tersebut merupakan pesan langsung dari Putri Berau Aji kanik Barrau Sanipa yang nota bene adalah seorang Putri Keraton yang masih hidup hingga saat ini.

Beberapa perlengkapan pensucian tersebut diantaranya Beras Kuning, Bunga 7 Rupa yang dimasukan ke dalam sebuah Tajau yang terbuat dari kuningan.

Selain Baddil Kuningan juga terdapat benda-benda pusaka lainnya, diantaranya Tajau yang menurut legendanya berasal dari Pulau Serundung Gurimbang yang sengaja diserahkan oleh warga yang bernama Umbun tahun 1950-an.

Dibagian Keraton terdapat juga Benda Pusaka lainnya seperti Meriam yang juga mempunyai Histori dan Sejarah berbeda pada masa dulu.

Menurut Puteri, Sebenarnya pada jaman dulunya, benda-benda bersejarah yang mempunyai nilai tinggi kebanyakan musnah karena pada waktu perang terjadi, benda-benda tersebut terkena serangan bom oleh penjajah, sehingga sebagian benda  mengalami kerusakan dan hancur.

Ditemui di sela-sela prosesi adat tersebut, ketua panitia pelaksana yang juga kerabat keraton, Adji Djamaluddin mengatakan, Prosesi ini hampir sekitar 20 tahun lebih tidak dilaksanakan, dan baru kali ini dilaksanakan dalam upaya melestarikan budaya dan peninggalan sejarah supaya dapat lebih lestari dan berkelanjutan.



Comments